Kamis, Mei 28, 2009

Seniman.......

Judul : Meniru kreativitas Tuhan , Julia Cameron dan Mark Bryan.
Julia Cameron menyediakan cara untuk mengatasi kreativitas macet atau gagasan terhenti. Judul aslinya adalah The Artist’s way : A Spiritual Path to Higher Creativity, tapi kiatnya bisa diterapkan untuk semua orang di segala bidang, bukan hanya untuk seniman.
Dalam epilog, jalan seniman adalah sebuah pengembaraan spiritual, ziarah dan mudik ke dalam diri. Anda akan mendapatkan sesuatu jika anda mendengarkannya.
Bukankah yang disarankan Julia ini adalah Iqra alias membaca isyarat dari Allah ?


Berdasar share dengan seorang karib sekaligus seorang saudara dalam penjelajahan hidup yang sering terkadang memberikan nasehat (atau entah apa artinya) terbersit dalam pikiran untuk membuka kembali rekaman yang dulu pernah hinggap dan menggeluti pikiran., yang sampai sekarang ini menjadi dasar keyakinan dalam berbuat tentunya jauh setelah Al-Quran dan Al-Hadist. sehingga prakata di atas adalah pengantar atau kesimpulan yang pada intinya tentang seniman (setidaknya apa yang saya yakini sampai sekarang)

Ada dua kubu paradigma berkesenian, memang. Antara menjadikan seni sebagai ruang bebas nilai yang sepenuhnya sarat estetika tanpa campuran nilai kemanusiaan apa pun, dengan paradigma yang memposisikan seni sebagai bagian dari agent of change yang tidak sekedar menghibur, namun juga mencerahkan dan terlebih lagi mendorong kepada perubahan kehidupan masyarakat. Tidak ada yang benar atau pun salah, keduanya sah dan boleh-boleh saja. Ada pula yang fokus menjadikan kesenian sebagai sarana perlawanan dan penyambung hidup, ada pula yang menjadikannya sebagai aktivitas kedua, itu pun tidak bermasalah nampaknya. Asalkan seni tetap bergulir sebagai bagian utuh pembentuk masyarakat, sama halnya dengan bagian-bagian lain seperti ekonomi, politik, teknologi. Meskipun demikian, tidak berarti seni bisa diwujudkan dalam bentuk apapun dengan alasan bebas nilai. Ia tetaplah harus memilki koridor-koridor tertentu layaknya jagad raya yang juga dilingkupi sekian hukum alam yang menjadi penyangga serta pelestarinya.

Mengutip artikel yang ditulis oleh Muthia Esfand, SS. Bahwa seniman adalah intelektual, namun sekaligus orang biasa, seniman boleh bermimpi dan berkhayal namun bersamaan dengan itu dia harus menjejakkan kakinya di bumi.”

Menurut Tisna Sanjaya–seorang seniman yang identik dengan media berupa performance art–di dalam karya seni terkandung nilai-nilai yang mampu menciptakan perubahan, meskipun secara tidak langsung, bahkan karya seni merupakan instrument penting dalam sebuah perubahan kebudayaan. Lebih lanjut lagi, dikatakan bahwa seni juga mempunyai nilai penyadaran bagi masyarakat.

Sudah saatnya seni dipersepsikan sebagai bagian dari dunia ilmiah serta intelektual, dan bukan lagi sekedar nilai estetika yang bebas nilai. Para seniman yang muncul diluar ruang perkuliahan khusus seni barangkali memang mengemban tugas sebagai penyambung idealisme ini. Seperti ungkapan perupa Arahmaiani, “Posisi seniman adalah penghubung dunia atas dan dunia bawah, menjadi mediator antara yang halus dan yang kasar, yang suci dan yang profane, atau antara peradaban dan alam, antara mimpi dan kenyataan.

Hidup adalah seni -- bukan sebuah ungkapan klise. Suka atau tidak, itulah kenyataannya. Salah satu seninya adalah bagaimana kita dapat memberi arti dari karya-karya yang kita buat. Arti itu akan kecil dan sepele kalau kita menempatkan kedisiplinan dan keteraturan jauh-jauh dari hidup kita, yang menjadikan kita seniman-seniman yang palsu. (Sidik Nugroho)

SENI dalam segala perwujudannya merupakan (salah satu) ekspresi proses kebudayaan manusia, sekaligus pencerminan dari peradaban suatu masyarakat atau bangsa pada suatu kurun waktu tertentu. Di lain pihak, kebudayaan tidak hanya berciri fungsional untuk melangsungkan hidup, tapi sekaligus juga proses pemerdekaan diri: membuat orang jadi lebih manusiawi. (Toto ST Radik; dalam artikel Seni, Proses Kreatif dan Sikap Seniman. Diposkan oleh RUMAH DUNIA; Penulis adalah penyair, pengelola Sanggar Sastra Remaja Indonesia (SSRI) Serang, dan penasehat Rumah Dunia)

REALITA DI MASYARAKAT
Ibarat makanan, kesenian dalam konteks masyarakat kebanyakan adalah sekedar camilan. Boleh ada namun juga tidak selalu harus tersedia. Hal ini bisa jadi dikarenakan minimnya pemahaman tentang arti dan nilai suatu bentuk karya seni bagi kehidupan manusia. Seni dianggap hanya sekedar pajangan pemanis ruangan, hiburan pelepas gundah, bahkan sekedar cara meningkatkan gengsi.
Seni juga seringkali dianggap sebagai aktivitas hura-hura yang jauh dari kesan ilmiah, intelektual, akademis, bahkan moralis. Hal ini bisa jadi karena adanya anggapan bahwa proses penciptaan suatu bentuk karya seni hanyalah proses perenungan semata, ibarat menanti ilham dari langit, tanpa ada proses ilmiah dan intelektual disana. Banyak yang tidak mengetahui bahwa dalam menciptakan suatu karya seni, seorang seniman juga dituntut untuk melakukan proses-proses layaknya penelitian ilmiah. Mulai dari proses studi pustaka, menelaah realita sosial yang tengah terjadi, bereksperimen dalam menghasilkan nilai estetika yang tidak melulu sama, berkontemplasi agar kedalaman makna kehidupan juga tertuang dalam karyanya, sampai pada akhirnya merealisasikannya dalam bentuk karya nyata.

PROSES KREATIF
Proses penciptaan disebut juga proses kreatif, yaitu rangkaian kegiatan dalam menciptakan dan melahirkan karya-karya seninya sebagai ungkapan gagasan dan keinginannya. Pada hakikatnya hanyalah usaha memodifikasi (mengubah/menyesuaikan) sesuatu yang telah ada sebelumnya. Misalnya, seorang pelukis membuat sebuah lukisan karena sebelumnya telah ada pelukis lain dan karya lukisan lainnya. Di situlah seniman berupaya dengan keras menampilkan sesuatu yang lain dari apa yang sudah ada, sehingga melahirkan suatu realitas baru yang kemudian diakui sebagai hasil ciptaannya.
Kemampuan “mencipta” (sesungguhnya hanya milik Tuhan!) inilah yang menjadikan manusia sebagai mahluk yang berkebudayaan. Yaitu yang memiliki kesadaran untuk mengembangkan kebiasaan hidup, saling berhubungan satu sama lain, dan mampu menyimpan pengalaman atau pengetahuannya sehingga dapat diketahui dan dialami oleh generasi-generasi berikutnya. Termasuk juga pengalaman estetiknya yang dijelmakan dalam kesenian.
Kemampuan kreatif atau mencipta tersebut sesungguhnya bukanlah sesuatu yang istimewa. Karena pada dasarnya setiap manusia memiliki tiga kemampuan utama, yaitu kemampuan fisik, kemampuan rasio atau akal, dan kemampuan kreatif. Hanya perimbangannnya saja yang berbeda-beda antara orang per orang.
Tiga kemampuan utama tersebut membentuk kemampuan-kemampuan lainnya yaitu kemampuan gerak, perasaan, dan imajinasi, di mana satu sama lain saling menjelmakan suatu kebulatan yang utuh. Integrasi atau penyatuan yang serasi dari seluruh kemampuan tersebut berpuncak atau menghasilkan apa yang dinamakan intuisi (penghayatan sedalam-dalamnya).
Perkara intuisi inilah yang kerapkali begitu besar dimiliki seorang seniman. Seorang seniman karena kepekaan intuitifnya seringkali berhadapan dengan pertanyaan-pertanyaan mengenai arti hidup dan realitas kehidupan secara keseluruhan dengan antitesis yang radikal. Sehingga sebagai mahluk historis, seniman senantiasa terus-menerus memulai dan memulai lagi penciptaan. Ia tidak akan memuja-muja masa lampau, tradisi tidak akan menjadi Allah-nya. Ia juga tidak akan memuja-muja masa depan, futurisisme tidak akan menjadi Allah-nya. Bahkan ia pun tidak akan memuja-muja masa sekarang, kejadian masa kini tidak akan menjadi Allah-nya. Yang dapat diartikan bahwa proses itu akan terus ada selama kebenaran masih ada, proses mencari kebenaran. Namun kebenaran hanyalah milik Tuhan. tapi bukan berarti putus asa dalam mencari kebenaran namun terus berusaha untuk mendekatinya sedekat mungkin
Dengan kata lain, seniman senantiasa melakukan pembaharuan terus-menerus, tak kunjung henti. Bahkan di tengah-tengah hidup dan kehidupan yang ditelikung nihilisme atau ketanpaartian yang melemparkan manusia ke dalam jurang-jurang pengasingan dan kesia-siaan. Dalam kata-kata Theodor W. Adorno sebagaimana dikutip Herman Tjahja dalam majalah kebudayaan Basis edisi September 1986, “Dalam masa ketanpaartian, karya seni dapat melambangkan ‘ketanpaartian’ dengan sangat tepat secara estetis. Maka, karya seni merupakan ekspresi penuh arti dalam dirinya sendiri tentang ketanpaartian yang ada secara nyata.”

SIKAP KRITIS
Ia senantiasa tergoda untuk berkarya dan berkarya. Bukannya tergoda oleh tepuk-tangan massa atau oleh daya tarik kekuasaan. Ia bergulat mengolah dan bermain-main dengan gagasan. Bahkan tidak pernah merasa puas dan terus mempersoalkan karyanya sendiri. Ia juga berlaku kritis terhadap dirinya sendiri, sehingga tidak menganggap penting dirinya karena yang ia pertaruhkan adalah karyanya (bukan berarti plin-plan atau tak memiliki penidirian, namun sekali lagi bahwa ini dalam proses dalam mencari kebenaran). Musuh besarnya bukanlah orang lain, tapi sikap mediocrity (kecukupanan) dan sikap utilitarian (kegunaan) yang mengepung dirinya maupun masyarakatnya.
Sikap kritis terhadap dirinya sendiri dan karya keseniannya itulah yang akan mampu terus menyalakan energi kreatifnya dalam proses penciptaan. Sehingga karya-karyanya menjelma menjadi “peristiwa” yang menimbulkan kelepak riak sekecil apa pun, yang menggugat ketenangan hidup yang mapan semu, yang mengganggu dan menggugah tidurnya kesadaran orang untuk berpikir secara baru dan lain.
Dengan imajinasi seniman, kekuatannya yang kreatif, keberanian dan integritasnya, melalui kode, tanda dan simbol, warna dan bentuk dalam karya-karyanya, akan memberikan arti baru kepada hidup dan oleh karena itu lebih menghasilkan energi hidup, lebih menguntungkan bagi hidup, dan lebih menggembirakan dalam hidup yang manusiawi dengan mengangkat hasrat manusia akan keadilan, kemerdekaan, kebebasan, kebenaran, dan kebahagiaan.

“Kerja keras bukan untuk sukses tetapi untuk sebuah nilai.” (Albert Einstein)

Tidak ada komentar: