Judul : Meniru kreativitas Tuhan , Julia Cameron dan Mark Bryan.
Julia Cameron menyediakan cara untuk mengatasi kreativitas macet atau gagasan terhenti. Judul aslinya adalah The Artist’s way : A Spiritual Path to Higher Creativity, tapi kiatnya bisa diterapkan untuk semua orang di segala bidang, bukan hanya untuk seniman.
Dalam epilog, jalan seniman adalah sebuah pengembaraan spiritual, ziarah dan mudik ke dalam diri. Anda akan mendapatkan sesuatu jika anda mendengarkannya.
Bukankah yang disarankan Julia ini adalah Iqra alias membaca isyarat dari Allah ?
Berdasar share dengan seorang karib sekaligus seorang saudara dalam penjelajahan hidup yang sering terkadang memberikan nasehat (atau entah apa artinya) terbersit dalam pikiran untuk membuka kembali rekaman yang dulu pernah hinggap dan menggeluti pikiran., yang sampai sekarang ini menjadi dasar keyakinan dalam berbuat tentunya jauh setelah Al-Quran dan Al-Hadist. sehingga prakata di atas adalah pengantar atau kesimpulan yang pada intinya tentang seniman (setidaknya apa yang saya yakini sampai sekarang)
Ada dua kubu paradigma berkesenian, memang. Antara menjadikan seni sebagai ruang bebas nilai yang sepenuhnya sarat estetika tanpa campuran nilai kemanusiaan apa pun, dengan paradigma yang memposisikan seni sebagai bagian dari agent of change yang tidak sekedar menghibur, namun juga mencerahkan dan terlebih lagi mendorong kepada perubahan kehidupan masyarakat. Tidak ada yang benar atau pun salah, keduanya sah dan boleh-boleh saja. Ada pula yang fokus menjadikan kesenian sebagai sarana perlawanan dan penyambung hidup, ada pula yang menjadikannya sebagai aktivitas kedua, itu pun tidak bermasalah nampaknya. Asalkan seni tetap bergulir sebagai bagian utuh pembentuk masyarakat, sama halnya dengan bagian-bagian lain seperti ekonomi, politik, teknologi. Meskipun demikian, tidak berarti seni bisa diwujudkan dalam bentuk apapun dengan alasan bebas nilai. Ia tetaplah harus memilki koridor-koridor tertentu layaknya jagad raya yang juga dilingkupi sekian hukum alam yang menjadi penyangga serta pelestarinya.
Mengutip artikel yang ditulis oleh Muthia Esfand, SS. Bahwa seniman adalah intelektual, namun sekaligus orang biasa, seniman boleh bermimpi dan berkhayal namun bersamaan dengan itu dia harus menjejakkan kakinya di bumi.”
Menurut Tisna Sanjaya–seorang seniman yang identik dengan media berupa performance art–di dalam karya seni terkandung nilai-nilai yang mampu menciptakan perubahan, meskipun secara tidak langsung, bahkan karya seni merupakan instrument penting dalam sebuah perubahan kebudayaan. Lebih lanjut lagi, dikatakan bahwa seni juga mempunyai nilai penyadaran bagi masyarakat.
Sudah saatnya seni dipersepsikan sebagai bagian dari dunia ilmiah serta intelektual, dan bukan lagi sekedar nilai estetika yang bebas nilai. Para seniman yang muncul diluar ruang perkuliahan khusus seni barangkali memang mengemban tugas sebagai penyambung idealisme ini. Seperti ungkapan perupa Arahmaiani, “Posisi seniman adalah penghubung dunia atas dan dunia bawah, menjadi mediator antara yang halus dan yang kasar, yang suci dan yang profane, atau antara peradaban dan alam, antara mimpi dan kenyataan.
Hidup adalah seni -- bukan sebuah ungkapan klise. Suka atau tidak, itulah kenyataannya. Salah satu seninya adalah bagaimana kita dapat memberi arti dari karya-karya yang kita buat. Arti itu akan kecil dan sepele kalau kita menempatkan kedisiplinan dan keteraturan jauh-jauh dari hidup kita, yang menjadikan kita seniman-seniman yang palsu. (Sidik Nugroho)
SENI dalam segala perwujudannya merupakan (salah satu) ekspresi proses kebudayaan manusia, sekaligus pencerminan dari peradaban suatu masyarakat atau bangsa pada suatu kurun waktu tertentu. Di lain pihak, kebudayaan tidak hanya berciri fungsional untuk melangsungkan hidup, tapi sekaligus juga proses pemerdekaan diri: membuat orang jadi lebih manusiawi. (Toto ST Radik; dalam artikel Seni, Proses Kreatif dan Sikap Seniman. Diposkan oleh RUMAH DUNIA; Penulis adalah penyair, pengelola Sanggar Sastra Remaja Indonesia (SSRI) Serang, dan penasehat Rumah Dunia)
REALITA DI MASYARAKAT
Ibarat makanan, kesenian dalam konteks masyarakat kebanyakan adalah sekedar camilan. Boleh ada namun juga tidak selalu harus tersedia. Hal ini bisa jadi dikarenakan minimnya pemahaman tentang arti dan nilai suatu bentuk karya seni bagi kehidupan manusia. Seni dianggap hanya sekedar pajangan pemanis ruangan, hiburan pelepas gundah, bahkan sekedar cara meningkatkan gengsi.
Seni juga seringkali dianggap sebagai aktivitas hura-hura yang jauh dari kesan ilmiah, intelektual, akademis, bahkan moralis. Hal ini bisa jadi karena adanya anggapan bahwa proses penciptaan suatu bentuk karya seni hanyalah proses perenungan semata, ibarat menanti ilham dari langit, tanpa ada proses ilmiah dan intelektual disana. Banyak yang tidak mengetahui bahwa dalam menciptakan suatu karya seni, seorang seniman juga dituntut untuk melakukan proses-proses layaknya penelitian ilmiah. Mulai dari proses studi pustaka, menelaah realita sosial yang tengah terjadi, bereksperimen dalam menghasilkan nilai estetika yang tidak melulu sama, berkontemplasi agar kedalaman makna kehidupan juga tertuang dalam karyanya, sampai pada akhirnya merealisasikannya dalam bentuk karya nyata.
PROSES KREATIF
Proses penciptaan disebut juga proses kreatif, yaitu rangkaian kegiatan dalam menciptakan dan melahirkan karya-karya seninya sebagai ungkapan gagasan dan keinginannya. Pada hakikatnya hanyalah usaha memodifikasi (mengubah/menyesuaikan) sesuatu yang telah ada sebelumnya. Misalnya, seorang pelukis membuat sebuah lukisan karena sebelumnya telah ada pelukis lain dan karya lukisan lainnya. Di situlah seniman berupaya dengan keras menampilkan sesuatu yang lain dari apa yang sudah ada, sehingga melahirkan suatu realitas baru yang kemudian diakui sebagai hasil ciptaannya.
Kemampuan “mencipta” (sesungguhnya hanya milik Tuhan!) inilah yang menjadikan manusia sebagai mahluk yang berkebudayaan. Yaitu yang memiliki kesadaran untuk mengembangkan kebiasaan hidup, saling berhubungan satu sama lain, dan mampu menyimpan pengalaman atau pengetahuannya sehingga dapat diketahui dan dialami oleh generasi-generasi berikutnya. Termasuk juga pengalaman estetiknya yang dijelmakan dalam kesenian.
Kemampuan kreatif atau mencipta tersebut sesungguhnya bukanlah sesuatu yang istimewa. Karena pada dasarnya setiap manusia memiliki tiga kemampuan utama, yaitu kemampuan fisik, kemampuan rasio atau akal, dan kemampuan kreatif. Hanya perimbangannnya saja yang berbeda-beda antara orang per orang.
Tiga kemampuan utama tersebut membentuk kemampuan-kemampuan lainnya yaitu kemampuan gerak, perasaan, dan imajinasi, di mana satu sama lain saling menjelmakan suatu kebulatan yang utuh. Integrasi atau penyatuan yang serasi dari seluruh kemampuan tersebut berpuncak atau menghasilkan apa yang dinamakan intuisi (penghayatan sedalam-dalamnya).
Perkara intuisi inilah yang kerapkali begitu besar dimiliki seorang seniman. Seorang seniman karena kepekaan intuitifnya seringkali berhadapan dengan pertanyaan-pertanyaan mengenai arti hidup dan realitas kehidupan secara keseluruhan dengan antitesis yang radikal. Sehingga sebagai mahluk historis, seniman senantiasa terus-menerus memulai dan memulai lagi penciptaan. Ia tidak akan memuja-muja masa lampau, tradisi tidak akan menjadi Allah-nya. Ia juga tidak akan memuja-muja masa depan, futurisisme tidak akan menjadi Allah-nya. Bahkan ia pun tidak akan memuja-muja masa sekarang, kejadian masa kini tidak akan menjadi Allah-nya. Yang dapat diartikan bahwa proses itu akan terus ada selama kebenaran masih ada, proses mencari kebenaran. Namun kebenaran hanyalah milik Tuhan. tapi bukan berarti putus asa dalam mencari kebenaran namun terus berusaha untuk mendekatinya sedekat mungkin
Dengan kata lain, seniman senantiasa melakukan pembaharuan terus-menerus, tak kunjung henti. Bahkan di tengah-tengah hidup dan kehidupan yang ditelikung nihilisme atau ketanpaartian yang melemparkan manusia ke dalam jurang-jurang pengasingan dan kesia-siaan. Dalam kata-kata Theodor W. Adorno sebagaimana dikutip Herman Tjahja dalam majalah kebudayaan Basis edisi September 1986, “Dalam masa ketanpaartian, karya seni dapat melambangkan ‘ketanpaartian’ dengan sangat tepat secara estetis. Maka, karya seni merupakan ekspresi penuh arti dalam dirinya sendiri tentang ketanpaartian yang ada secara nyata.”
SIKAP KRITIS
Ia senantiasa tergoda untuk berkarya dan berkarya. Bukannya tergoda oleh tepuk-tangan massa atau oleh daya tarik kekuasaan. Ia bergulat mengolah dan bermain-main dengan gagasan. Bahkan tidak pernah merasa puas dan terus mempersoalkan karyanya sendiri. Ia juga berlaku kritis terhadap dirinya sendiri, sehingga tidak menganggap penting dirinya karena yang ia pertaruhkan adalah karyanya (bukan berarti plin-plan atau tak memiliki penidirian, namun sekali lagi bahwa ini dalam proses dalam mencari kebenaran). Musuh besarnya bukanlah orang lain, tapi sikap mediocrity (kecukupanan) dan sikap utilitarian (kegunaan) yang mengepung dirinya maupun masyarakatnya.
Sikap kritis terhadap dirinya sendiri dan karya keseniannya itulah yang akan mampu terus menyalakan energi kreatifnya dalam proses penciptaan. Sehingga karya-karyanya menjelma menjadi “peristiwa” yang menimbulkan kelepak riak sekecil apa pun, yang menggugat ketenangan hidup yang mapan semu, yang mengganggu dan menggugah tidurnya kesadaran orang untuk berpikir secara baru dan lain.
Dengan imajinasi seniman, kekuatannya yang kreatif, keberanian dan integritasnya, melalui kode, tanda dan simbol, warna dan bentuk dalam karya-karyanya, akan memberikan arti baru kepada hidup dan oleh karena itu lebih menghasilkan energi hidup, lebih menguntungkan bagi hidup, dan lebih menggembirakan dalam hidup yang manusiawi dengan mengangkat hasrat manusia akan keadilan, kemerdekaan, kebebasan, kebenaran, dan kebahagiaan.
“Kerja keras bukan untuk sukses tetapi untuk sebuah nilai.” (Albert Einstein)
hanya kematian yang tak memiliki mimpi,karena berawal dari mimpi ku melangkah tak pernah berakhir untuk belajar,ketika nafas terampas disanalah akhir pembelajaran
Kamis, Mei 28, 2009
Seniman.......
Rabu, Mei 27, 2009
Selasa, Mei 26, 2009
Senin, Mei 25, 2009
Jumat, Mei 22, 2009
Rabu, Mei 20, 2009
Selasa, Mei 19, 2009
TERMINAL
Di bangku terminal
Sampah berserakan
Matahari membakar kulit
Penjual memanggil duit
Seorang ibu terduduk lelah
Seorang ayah terduduk lesu
Hitam kulit mereka
Ntah ibu siapa
Ntah ayah siapa
Tak ada yang menangisi
Pun aku, tak bisa menangis
Air mataku
Air matamu
Air mata kita
Tlah lama kering
Oleh kerasnya kehidupan
Senin, Mei 18, 2009
KEDAMAIAN
Kerikil menusuk kaki
Sinar mentari menyiram tubuh
Hangatnya membalut kulit
Senyummu …
Penuh kedamaian
Gunung membentenginya
Dari kerasnya kehidupan kota
Alam …
Sahabat yang mau berbagi rasa
Bercumbu dalam damai
Sapamu, senyummu
Menghiasi bibir
Hatimu berbalut kasih
Kotoran ternak tercium dari bajumu
Tanah di tubuhmu,
Menusuk ke dalam hidung jiwaku
Sabtu, Mei 16, 2009
AH……..
Matahari enggan menampakkan diri
Dedaunan bertafakur dalam sunyi
tebarkan kesegaran
selimuti kegelisahan
menggapai keterasingan, sayapnya
Hujan menyirami bumi
basahi kemunafikan
meletakkan dibawah kehancuran
kutekan ke dasar jiwa, agar
ditelan bumi, namun
mentari tetap sembunyi
dibalik genangan air
Selasa, Mei 12, 2009
SEPI
Sinar rembulan menusuk kalbu
Sibakkan kegelisahan dalam kesunyian
Terangi keresahan dalam keterasingan
Selimut dingin membasuh tubuh
Terbawa angin menyelusup pori
Bagai hidup diatas awan
Berteman burung, bisu akan bicara manusia
Berjalan –ditinggal kabut, kesendirian
Nyanyian angin menyayat hati
Jumat, Mei 08, 2009
Uga Wangsit Siliwangi
Terjemahan bebas Uga Wangsit Siliwangi.
Prabu Siliwangi berpesan pada warga Pajajaran yang ikut mundur pada waktu beliau sebelum menghilang :
“Perjalanan kita hanya sampai disini hari ini, walaupun kalian semua setia padaku! Tapi aku tidak boleh membawa kalian dalam masalah ini, membuat kalian susah, ikut merasakan miskin dan lapar. Kalian boleh memilih untuk hidup kedepan nanti, agar besok lusa, kalian hidup senang kaya raya dan bisa mendirikan lagi Pajajaran! Bukan Pajajaran saat ini tapi Pajajaran yang baru yang berdiri oleh perjalanan waktu! Pilih! aku tidak akan melarang, sebab untukku, tidak pantas jadi raja yang rakyatnya lapar dan miskin.”
Dengarkan! Yang ingin tetap ikut denganku, cepat memisahkan diri ke selatan! Yang ingin kembali lagi ke kota yang ditinggalkan, cepat memisahkan diri ke utara! Yang ingin berbakti kepada raja yang sedang berkuasa, cepat memisahkan diri ke timur! Yang tidak ingin ikut siapa-siapa, cepat memisahkan diri ke barat!
Dengarkan! Kalian yang di timur harus tahu: Kekuasaan akan turut dengan kalian! dan keturunan kalian nanti yang akan memerintah saudara kalian dan orang lain. Tapi kalian harus ingat, nanti mereka akan memerintah dengan semena-mena. Akan ada pembalasan untuk semua itu. Silahkan pergi!
Kalian yang di sebelah barat! Carilah oleh kalian Ki Santang! Sebab nanti, keturunan kalian yang akan mengingatkan saudara kalian dan orang lain. Ke saudara sedaerah, ke saudara yang datang sependirian dan semua yang baik hatinya. Suatu saat nanti, apabila tengah malam, dari gunung Halimun terdengar suara minta tolong, nah itu adalah tandanya. Semua keturunan kalian dipanggil oleh yang mau menikah di Lebak Cawéné. Jangan sampai berlebihan, sebab nanti telaga akan banjir! Silahkan pergi! Ingat! Jangan menoleh kebelakang!
Kalian yang di sebelah utara! Dengarkan! Kota takkan pernah kalian datangi, yang kalian temui hanya padang yang perlu diolah. Keturunan kalian, kebanyakan akan menjadi rakyat biasa. Adapun yang menjadi penguasa tetap tidak mempunyai kekuasaan. Suatu hari nanti akan kedatangan tamu, banyak tamu dari jauh, tapi tamu yang menyusahkan. Waspadalah!
Semua keturunan kalian akan aku kunjungi, tapi hanya pada waktu tertentu dan saat diperlukan. Aku akan datang lagi, menolong yang perlu, membantu yang susah, tapi hanya mereka yang bagus perangainya. Apabila aku datang takkan terlihat; apabila aku berbicara takkan terdengar. Memang aku akan datang tapi hanya untuk mereka yang baik hatinya, mereka yang mengerti dan satu tujuan, yang mengerti tentang harum sejati juga mempunyai jalan pikiran yang lurus dan bagus tingkah lakunya. Ketika aku datang, tidak berupa dan bersuara tapi memberi ciri dengan wewangian. Semenjak hari ini, Pajajaran hilang dari alam nyata. Hilang kotanya, hilang negaranya. Pajajaran tidak akan meninggalkan jejak, selain nama untuk mereka yang berusaha menelusuri. Sebab bukti yang ada akan banyak yang menolak! Tapi suatu saat akan ada yang mencoba, supaya yang hilang bisa diteemukan kembali. Bisa saja, hanya menelusurinya harus memakai dasar. Tapi yang menelusurinya banyak yang sok pintar dan sombong. dan bahkan berlebihan kalau bicara.
Suatu saat nanti akan banyak hal yang ditemui, sebagian-sebagian. Sebab terlanjur dilarang oleh Pemimpin Pengganti! Ada yang berani menelusuri terus menerus, tidak mengindahkan larangan, mencari sambil melawan, melawan sambil tertawa. Dialah Anak Gembala. Rumahnya di belakang sungai, pintunya setinggi batu, tertutupi pohon handeuleum dan hanjuang. Apa yang dia gembalakan? Bukan kerbau bukan domba, bukan pula harimau ataupun banteng. Tetapi ranting daun kering dan sisa potongan pohon. Dia terus mencari, mengumpulkan semua yang dia temui. Tapi akan menemui banyak sejarah/kejadian, selesai jaman yang satu datang lagi satu jaman yang jadi sejarah/kejadian baru, setiap jaman membuat sejarah. setiap waktu akan berulang itu dan itu lagi.
Dengarkan! yang saat ini memusuhi kita, akan berkuasa hanya untuk sementara waktu. Tanahnya kering padahal di pinggir sungai Cibantaeun dijadikan kandang kerbau kosong. Nah di situlah, sebuah nagara akan pecah, pecah oleh kerbau bule, yang digembalakan oleh orang yang tinggi dan memerintah di pusat kota. semenjak itu, raja-raja dibelenggu. Kerbau bule memegang kendali, dan keturunan kita hanya jadi orang suruhan. Tapi kendali itu tak terasa sebab semuanya serba dipenuhi dan murah serta banyak pilihan.
Semenjak itu, pekerjaan dikuasai monyet. Suatu saat nanti keturunan kita akan ada yang sadar, tapi sadar seperti terbangun dari mimpi. Dari yang hilang dulu semakin banyak yang terbongkar. Tapi banyak yang tertukar sejarahnya, banyak yang dicuri bahkan dijual! Keturunan kita banyak yang tidak tahu, bahwa jaman sudah berganti! Pada saat itu geger di seluruh negara. Pintu dihancurkan oleh mereka para pemimpin, tapi pemimpin yang salah arah!
Yang memerintah bersembunyi, pusat kota kosong, kerbau bule kabur. Negara pecahan diserbu monyet! Keturunan kita enak tertawa, tapi tertawa yang terpotong, sebab ternyata, pasar habis oleh penyakit, sawah habis oleh penyakit, tempat padi habis oleh penyakit, kebun habis oleh penyakit, perempuan hamil oleh penyakit. Semuanya diserbu oleh penyakit. Keturunan kita takut oleh segala yang berbau penyakit. Semua alat digunakan untuk menyembuhkan penyakit sebab sudah semakin parah. Yang mengerjakannya masih bangsa sendiri. Banyak yang mati kelaparan. Semenjak itu keturunan kita banyak yang berharap bisa bercocok tanam sambil sok tahu membuka lahan. mereka tidak sadar bahwa jaman sudah berganti cerita lagi.
Lalu sayup-sayup dari ujung laut utara terdengar gemuruh, burung menetaskan telur. Riuh seluruh bumi! Sementara di sini? Ramai oleh perang, saling menindas antar sesama. Penyakit bermunculan di sana-sini. Lalu keturunan kita mengamuk. Mengamuk tanpa aturan. Banyak yang mati tanpa dosa, jelas-jelas musuh dijadikan teman, yang jelas-jelas teman dijadikan musuh. Mendadak banyak pemimpin dengan caranya sendiri. Yang bingung semakin bingung. Banyak anak kecil sudah menjadi bapa. Yang mengamuk tambah berkuasa, mengamuk tanpa pandang bulu. Yang Putih dihancurkan, yang Hitam diusir. Kepulauan ini semakin kacau, sebab banyak yang mengamuk, tidak beda dengan tawon, hanya karena dirusak sarangnya. seluruh nusa dihancurkan dan dikejar. Tetapi…ada yang menghentikan, yang menghentikan adalah orang sebrang.
Lalu berdiri lagi penguasa yang berasal dari orang biasa. Tapi memang keturunan penguasa dahulu kala dan ibunya adalah seorang putri Pulau Dewata. Karena jelas keturunan penguasa, penguasa baru susah dianiaya! Semenjak itu berganti lagi jaman. Ganti jaman ganti cerita! Kapan? Tidak lama, setelah bulan muncul di siang hari, disusul oleh lewatnya komet yang terang benderang. Di bekas negara kita, berdiri lagi sebuah negara. Negara di dalam negara dan pemimpinnya bukan keturunan Pajajaran.
Lalu akan ada penguasa, tapi penguasa yang mendirikan benteng yang tidak boleh dibuka, yang mendirikan pintu yang tidak boleh ditutup, membuat pancuran ditengah jalan, memelihara elang dipohon beringin. Memang penguasa buta! Bukan buta pemaksa, tetapi buta tidak melihat, segala penyakit dan penderitaan, penjahat juga pencuri menggerogoti rakyat yang sudah susah. Sekalinya ada yang berani mengingatkan, yang diburu bukanlah penderitaan itu semua tetapi orang yang mengingatkannya. Semakin maju semakin banyak penguasa yang buta tuli. memerintah sambil menyembah berhala. Lalu anak-anak muda salah pergaulan, aturan hanya menjadi bahan omongan, karena yang membuatnya bukan orang yang mengerti aturan itu sendiri. Wajar saja bila kolam semuanya mengering, pertanian semuanya puso, bulir padi banyak yang diselewengkan, sebab yang berjanjinya banyak tukang bohong, semua diberangus janji-janji belaka, terlalu banyak orang pintar, tapi pintar kebelinger.
Pada saat itu datang pemuda berjanggut, datangnya memakai baju serba hitam sambil menyanding sarung tua. Membangunkan semua yang salah arah, mengingatkan pada yang lupa, tapi tidak dianggap. Karena pintar kebelinger, maunya menang sendiri. Mereka tidak sadar, langit sudah memerah, asap mengepul dari perapian. Alih-alih dianggap, pemuda berjanggut ditangkap dimasukan kepenjara. Lalu mereka mengacak-ngacak tanah orang lain, beralasan mencari musuh tapi sebenarnya mereka sengaja membuat permusuhan.
Waspadalah! sebab mereka nanti akan melarang untuk menceritakan Pajajaran. Sebab takut ketahuan, bahwa mereka yang jadi gara-gara selama ini. Penguasa yang buta, semakin hari semakin berkuasa melebihi kerbau bule, mereka tidak sadar jaman manusia sudah dikuasai oleh kelakuan hewan.
Kekuasaan penguasa buta tidak berlangsung lama, tapi karena sudah kelewatan menyengsarakan rakyat yang sudah berharap agar ada mukjizat datang untuk mereka. Penguasa itu akan menjadi tumbal, tumbal untuk perbuatannya sendiri, kapan waktunya? Nanti, saat munculnya anak gembala! di situ akan banyak huru-hara, yang bermula di satu daerah semakin lama semakin besar meluas di seluruh negara. yang tidak tahu menjadi gila dan ikut-ikutan menyerobot dan bertengkar. Dipimpin oleh pemuda gendut! Sebabnya bertengkar? Memperebutkan tanah. Yang sudah punya ingin lebih, yang berhak meminta bagiannya. Hanya yang sadar pada diam, mereka hanya menonton tapi tetap terbawa-bawa.
Yang bertengkar lalu terdiam dan sadar ternyata mereka memperebutkan pepesan kosong, sebab tanah sudah habis oleh mereka yang punya uang. Para penguasa lalu menyusup, yang bertengkar ketakutan, ketakutan kehilangan negara, lalu mereka mencari anak gembala, yang rumahnya di ujung sungai yang pintunya setinggi batu, yang rimbun oleh pohon handeuleum dan hanjuang. Semua mencari tumbal, tapi pemuda gembala sudah tidak ada, sudah pergi bersama pemuda berjanggut, pergi membuka lahan baru di Lebak Cawéné!
Yang ditemui hanya gagak yang berkoar di dahan mati. Dengarkan! jaman akan berganti lagi, tapi nanti, Setelah Gunung Gede meletus, disusul oleh tujuh gunung. Ribut lagi seluruh bumi. Orang sunda dipanggil-panggil, orang sunda memaafkan. Baik lagi semuanya. Negara bersatu kembali. Nusa jaya lagi, sebab berdiri ratu adil, ratu adil yang sejati.
Tapi ratu siapa? darimana asalnya sang ratu? Nanti juga kalian akan tahu. Sekarang, cari oleh kalian pemuda gembala.
Silahkan pergi, ingat jangan menoleh kebelakang!
Artikel Asli
Selasa, Mei 05, 2009
Uga Wangsit Siliwangi (sunda)
Carita Pantun Ngahiangna Pajajaran
Pun, sapun kula jurungkeun
Mukakeun turub mandepun
Nyampeur nu dihandeuleumkeun
Teundeun poho nu baréto
Nu mangkuk di saung butut
Ukireun dina lalangit
Tataheun di jero iga!
Saur Prabu Siliwangi ka balad Pajajaran anu milu mundur dina sateuacana ngahiang : “Lalakon urang ngan nepi ka poé ieu, najan dia kabéhan ka ngaing pada satia! Tapi ngaing henteu meunang mawa dia pipilueun, ngilu hirup jadi balangsak, ngilu rudin bari lapar. Dia mudu marilih, pikeun hirup ka hareupna, supaya engké jagana, jembar senang sugih mukti, bisa ngadegkeun deui Pajajaran! Lain Pajajaran nu kiwari, tapi Pajajaran anu anyar, nu ngadegna digeuingkeun ku obah jaman! Pilih! ngaing moal ngahalang-halang. Sabab pikeun ngaing, hanteu pantes jadi Raja, anu somah sakabéhna, lapar baé jeung balangsak.”
Daréngékeun! Nu dék tetep ngilu jeung ngaing, geura misah ka beulah kidul! Anu hayang balik deui ka dayeuh nu ditinggalkeun, geura misah ka beulah kalér! Anu dék kumawula ka nu keur jaya, geura misah ka beulah wétan! Anu moal milu ka saha-saha, geura misah ka beulah kulon!
Daréngékeun! Dia nu di beulah wétan, masing nyaraho: Kajayaan milu jeung dia! Nya turunan dia nu engkéna bakal maréntah ka dulur jeung ka batur. Tapi masing nyaraho, arinyana bakal kamalinaan. Engkéna bakal aya babalesna. Jig geura narindak!
Dia nu di beulah kulon! Papay ku dia lacak Ki Santang! Sabab engkéna, turunan dia jadi panggeuing ka dulur jeung ka batur. Ka batur urut salembur, ka dulur anu nyorang saayunan ka sakabéh nu rancagé di haténa. Engké jaga, mun tengah peuting, ti gunung Halimun kadéngé sora tutunggulan, tah éta tandana; saturunan dia disambat ku nu dék kawin di Lebak Cawéné. Ulah sina talangké, sabab talaga bakal bedah! Jig geura narindak! Tapi ulah ngalieuk ka tukang!
Dia nu marisah ka beulah kalér, daréngékeun! Dayeuh ku dia moal kasampak. Nu ka sampak ngan ukur tegal baladaheun. Turunan dia, lolobana bakal jadi somah. Mun aya nu jadi pangkat, tapi moal boga kakawasaan. Arinyana engké jaga, bakal ka seundeuhan batur. Loba batur ti nu anggang, tapi batur anu nyusahkeun. Sing waspada!
Sakabéh turunan dia ku ngaing bakal dilanglang. Tapi, ngan di waktu anu perelu. Ngaing bakal datang deui, nulungan nu barutuh, mantuan anu sarusah, tapi ngan nu hadé laku-lampahna. Mun ngaing datang moal kadeuleu; mun ngaing nyarita moal kadéngé. Mémang ngaing bakal datang. Tapi ngan ka nu rancagé haténa, ka nu weruh di semu anu saéstu, anu ngarti kana wangi anu sajati jeung nu surti lantip pikirna, nu hadé laku lampahna. Mun ngaing datang; teu ngarupa teu nyawara, tapi méré céré ku wawangi. Ti mimiti poé ieu, Pajajaran leungit ti alam hirup. Leungit dayeuhna, leungit nagarana. Pajajaran moal ninggalkeun tapak, jaba ti ngaran pikeun nu mapay. Sabab bukti anu kari, bakal réa nu malungkir! Tapi engké jaga bakal aya nu nyoba-nyoba, supaya anu laleungit kapanggih deui. Nya bisa, ngan mapayna kudu maké amparan. Tapi anu marapayna loba nu arieu-aing pang pinterna. Mudu arédan heula.
Engké bakal réa nu kapanggih, sabagian-sabagian. Sabab kaburu dilarang ku nu disebut Raja Panyelang! Aya nu wani ngoréhan terus terus, teu ngahiding ka panglarang; ngoréhan bari ngalawan, ngalawan sabari seuri. Nyaéta budak angon; imahna di birit leuwi, pantona batu satangtungeun, kahieuman ku handeuleum, karimbunan ku hanjuang. Ari ngangonna? Lain kebo lain embé, lain méong lain banténg, tapi kalakay jeung tutunggul. Inyana jongjon ngorehan, ngumpulkeun anu kapanggih. Sabagian disumputkeun, sabab acan wayah ngalalakonkeun. Engke mun geus wayah jeung mangsana, baris loba nu kabuka jeung raréang ménta dilalakonkeun. Tapi, mudu ngalaman loba lalakon, anggeus nyorang: undur jaman datang jaman, saban jaman mawa lalakon. Lilana saban jaman, sarua jeung waktuna nyukma, ngusumah jeung nitis, laju nitis dipinda sukma.
Daréngékeun! Nu kiwari ngamusuhan urang, jaradi rajana ngan bakal nepi mangsa: tanah bugel sisi Cibantaeun dijieun kandang kebo dongkol. Tah di dinya, sanagara bakal jadi sampalan, sampalan kebo barulé, nu diangon ku jalma jangkung nu tutunjuk di alun-alun. Ti harita, raja-raja dibelenggu. Kebo bulé nyekel bubuntut, turunan urang narik waluku, ngan narikna henteu karasa, sabab murah jaman seubeuh hakan.
Ti dinya, waluku ditumpakan kunyuk; laju turunan urang aya nu lilir, tapi lilirna cara nu kara hudang tina ngimpi. Ti nu laleungit, tambah loba nu manggihna. Tapi loba nu pahili, aya kabawa nu lain mudu diala! Turunan urang loba nu hanteu engeuh, yén jaman ganti lalakon ! Ti dinya gehger sanagara. Panto nutup di buburak ku nu ngaranteur pamuka jalan; tapi jalan nu pasingsal!
Nu tutunjuk nyumput jauh; alun-alun jadi suwung, kebo bulé kalalabur; laju sampalan nu diranjah monyét! Turunan urang ngareunah seuri, tapi seuri teu anggeus, sabab kaburu: warung béak ku monyét, sawah béak ku monyét, leuit béak ku monyét, kebon béak ku monyét, sawah béak ku monyét, cawéné rareuneuh ku monyét. Sagala-gala diranjah ku monyét. Turunan urang sieun ku nu niru-niru monyét. Panarat dicekel ku monyet bari diuk dina bubuntut. Walukuna ditarik ku turunan urang keneh. Loba nu paraeh kalaparan. ti dinya, turunan urang ngarep-ngarep pelak jagong, sabari nyanyahoanan maresék caturangga. Hanteu arengeuh, yén jaman geus ganti deui lalakon.
Laju hawar-hawar, ti tungtung sagara kalér ngaguruh ngagulugur, galudra megarkeun endog. Génjlong saamparan jagat! Ari di urang ? Ramé ku nu mangpring. Pangpring sabuluh-buluh gading. Monyét ngumpul ting rumpuyuk. Laju ngamuk turunan urang; ngamukna teu jeung aturan. loba nu paraéh teu boga dosa. Puguh musuh, dijieun batur; puguh batur disebut musuh. Ngadak-ngadak loba nu pangkat nu maréntah cara nu édan, nu bingung tambah baringung; barudak satepak jaradi bapa. nu ngaramuk tambah rosa; ngamukna teu ngilik bulu. Nu barodas dibuburak, nu harideung disieuh-sieuh. Mani sahéng buana urang, sabab nu ngaramuk, henteu beda tina tawon, dipaléngpéng keuna sayangna. Sanusa dijieun jagal. Tapi, kaburu aya nu nyapih; nu nyapihna urang sabrang.
Laju ngadeg deui raja, asalna jalma biasa. Tapi mémang titisan raja. Titisan raja baheula jeung biangna hiji putri pulo Dewata. da puguh titisan raja; raja anyar hésé apes ku rogahala! Ti harita, ganti deui jaman. Ganti jaman ganti lakon! Iraha? Hanteu lila, anggeus témbong bulan ti beurang, disusul kaliwatan ku béntang caang ngagenclang. Di urut nagara urang, ngadeg deui karajaan. Karajaan di jeroeun karajaan jeung rajana lain teureuh Pajajaran.
Laju aya deui raja, tapi raja, raja buta nu ngadegkeun lawang teu beunang dibuka, nangtungkeun panto teu beunang ditutup; nyieun pancuran di tengah jalan, miara heulang dina caringin, da raja buta! Lain buta duruwiksa, tapi buta henteu neuleu, buaya eujeung ajag, ucing garong eujeung monyét ngarowotan somah nu susah. Sakalina aya nu wani ngageuing; nu diporog mah lain satona, tapi jelema anu ngélingan. Mingkin hareup mingkin hareup, loba buta nu baruta, naritah deui nyembah berhala. Laju bubuntut salah nu ngatur, panarat pabeulit dina cacadan; da nu ngawalukuna lain jalma tukang tani. Nya karuhan: taraté hépé sawaréh, kembang kapas hapa buahna; buah paré loba nu teu asup kana aseupan……………………….. Da bonganan, nu ngebonna tukang barohong; nu tanina ngan wungkul jangji; nu palinter loba teuing, ngan pinterna kabalinger.
Ti dinya datang budak janggotan. Datangna sajamang hideung bari nyorén kanéron butut, ngageuingkeun nu keur sasar, ngélingan nu keur paroho. Tapi henteu diwararo! Da pinterna kabalinger, hayang meunang sorangan. Arinyana teu areungeuh, langit anggeus semu beureum, haseup ngebul tina pirunan. Boro-boro dék ngawaro, malah budak nu janggotan, ku arinyana ditéwak diasupkeun ka pangbérokan. Laju arinyana ngawut-ngawut dapur batur, majarkeun néangan musuh; padahal arinyana nyiar-nyiar pimusuheun.
Sing waspada! Sabab engké arinyana, bakal nyaram Pajajaran didongéngkeun. Sabab sarieuneun kanyahoan, saenyana arinyana anu jadi gara-gara sagala jadi dangdarat. Buta-buta nu baruta; mingkin hareup mingkin bedegong, ngaleuwihan kebo bulé. Arinyana teu nyaraho, jaman manusa dikawasaan ku sato!
Jayana buta-buta, hanteu pati lila; tapi, bongan kacarida teuing nyangsara ka somah anu pada ngarep-ngarep caringin reuntas di alun-alun. Buta bakal jaradi wadal, wadal pamolahna sorangan. Iraha mangsana? Engké, mun geus témbong budak angon! Ti dinya loba nu ribut, ti dapur laju salembur, ti lembur jadi sanagara! Nu barodo jaradi gélo marantuan nu garelut, dikokolotan ku budak buncireung! Matakna garelut? Marebutkeun warisan. Nu hawek hayang loba; nu boga hak marénta bagianana. Ngan nu aréling caricing. Arinyana mah ngalalajoan. Tapi kabarérang.
Nu garelut laju rareureuh; laju kakara arengeuh; kabéh gé taya nu meunang bagian. Sabab warisan sakabéh béak, béakna ku nu nyarekel gadéan. Buta-buta laju nyarusup, nu garelut jadi kareueung, sarieuneun ditempuhkeun leungitna nagara. Laju naréangan budak angon, nu saungna di birit leuwi nu pantona batu satangtung, nu dihateup ku handeuleum ditihangan ku hanjuang. Naréanganana budak tumbal. sejana dék marénta tumbal. Tapi, budak angon enggeus euweuh, geus narindak babarengan jeung budak anu janggotan; geus mariang pindah ngababakan, parindah ka Lebak Cawéné!
Nu kasampak ngan kari gagak, keur ngelak dina tutunggul. Daréngékeun! Jaman bakal ganti deui. tapi engké, lamun Gunung Gedé anggeus bitu, disusul ku tujuh gunung. Génjlong deui sajajagat. Urang Sunda disarambat; urang Sunda ngahampura. Hadé deui sakabéhanana. Sanagara sahiji deui. Nusa Jaya, jaya deui; sabab ngadeg ratu adil; ratu adil nu sajati.
Tapi ratu saha? Ti mana asalna éta ratu? Engké ogé dia nyaraho. Ayeuna mah, siar ku dia éta budak angon!
Jig geura narindak! Tapi, ulah ngalieuk ka tukang!
artikel asli
Senin, Mei 04, 2009
peng-AKHIR-an
Ketika kebenaran mengulurkan tangan-Nya
Aku menepisnya
kini……………
Dia menjauh terbawa angin menelusuri jalan-Nya
Sesal yang mengendap di dasar laut jiwa
Tlah muncul menyambut matahari yang tertutup kabut
Dunia ini terlalu sesak untuk sebuah penyesalan
Kupanggil kembali angin yang tlah pergi jauh
Pantaskah aku?
Yang slalu mengendapkan dan memunculkan
Tanpa mengenal suatu pengakhiran